Krisis moneter 1997/1998 memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif dan berdampak traumatik bagi masyarakat Indonesia. Melemahnya Rupiah secara drastis membuat biaya impor bahan baku melambung tinggi, memaksa banyak perusahaan, terutama di sektor manufaktur dan tekstil, gulung tikar atau mengurangi skala operasi secara besar-besaran. Jutaan pekerja tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dalam waktu singkat.
Dampak langsung dari Pemutusan Hubungan kerja ini adalah lonjakan angka pengangguran yang ekstrem. Sektor sektor yang paling terpukul, seperti properti dan keuangan, mengalami kontraksi tajam. Kondisi ini diperparah oleh penutupan bank bank bermasalah sebagai bagian dari program Penanganan Krisis IMF. PHK ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan yang mendalam.
Secara sosial, gelombang Pemutusan Hubungan kerja ini meningkatkan kemiskinan secara signifikan. Keluarga keluarga yang kehilangan pendapatan utama terpaksa memangkas pengeluaran untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan pendidikan. Daya beli masyarakat anjlok, menciptakan lingkaran setan di mana penurunan konsumsi semakin memperlambat pemulihan sektor riil nasional.
Krisis PHK ini juga memicu gejolak sosial dan ketidakstabilan politik. Frustrasi ekonomi dan meningkatnya kesenjangan memicu demonstrasi dan kerusuhan massal pada Mei 1998, yang pada akhirnya mengakhiri era Orde Baru. Ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi ekonomi yang memburuk menjadi katalisator bagi perubahan politik fundamental di Indonesia.
Dampak PHK 1998 memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya jaring pengaman sosial. Saat itu, mekanisme perlindungan sosial bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan kerja masih sangat minim. Ketiadaan bantuan pengangguran dan program pelatihan ulang yang memadai membuat korban PHK kesulitan kembali ke pasar kerja.
Untuk jangka panjang, krisis PHK tersebut mengubah struktur pasar kerja Indonesia. Banyak pekerja yang terpaksa beralih ke sektor informal, menciptakan sektor bayangan yang besar. Meskipun sektor informal menyediakan lapangan kerja darurat, ia seringkali tidak menawarkan jaminan sosial atau upah yang stabil.
Warisan dari gelombang PHK 1998 adalah kesadaran kolektif akan kerentanan ekonomi global. Peristiwa ini mendorong perlunya reformasi undang undang ketenagakerjaan dan pembangunan sistem asuransi sosial yang lebih kuat untuk melindungi pekerja dari guncangan ekonomi di masa depan.
Meskipun ekonomi Indonesia akhirnya pulih, trauma Pemutusan Hubungan kerja massal pada 1998 tetap menjadi pengingat pahit tentang kerapuhan sistem dan pentingnya kebijakan ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja.
