Pembukaan jalur layang (flyover) baru sepanjang 2,5 kilometer yang menghubungkan Jalan Utama dengan Kawasan Niaga Sentral telah diresmikan pada Sabtu, 2 November 2024, pukul 10.00 WIB, dengan janji besar menjadi Solusi Macet permanen. Proyek dengan nilai investasi Rp 350 miliar ini diharapkan mampu memangkas waktu tempuh di kawasan bottleneck hingga 60%. Namun, di kalangan pakar tata kota dan pengamat transportasi publik, flyover ini justru memicu perdebatan sengit. Banyak yang khawatir, alih-alih menjadi Solusi Macet, pembangunan infrastruktur ini justru berpotensi menjadi “bom waktu” tata ruang kota, yang hanya memindahkan masalah kemacetan ke titik lain dan mengabaikan konsep pembangunan berkelanjutan serta Kemandirian Finansial warga.
Menurut Dr. Ir. Setyo Nugroho, M.T., seorang pakar perencanaan wilayah dari Institut Teknologi Pembangunan, solusi infrastruktur yang hanya berfokus pada peningkatan kapasitas jalan, seperti pembangunan flyover baru, hanya akan memicu induced demand. “Ini adalah ilusi Solusi Macet. Setelah flyover dibuka, orang akan terdorong menggunakan kendaraan pribadi lebih sering karena jalan terasa lebih lancar. Namun, dalam waktu singkat, kemacetan akan kembali, dan kali ini, terjadi di persimpangan keluar flyover atau di jalan-jalan penghubung sekunder,” jelas Dr. Setyo dalam seminar publik yang diadakan di Auditorium Balai Kota pada Minggu, 3 November 2024. Ia menekankan bahwa perencanaan transportasi modern harusnya lebih memprioritaskan peningkatan kualitas dan kuantitas transportasi publik massal, seperti Bus Rapid Transit (BRT) atau kereta ringan (LRT).
Pemerintah Kota, melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Ir. Hadi Santoso, M.Eng., membantah kritik tersebut. Menurut Ir. Hadi, flyover ini dibangun berdasarkan kajian mendalam dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang memprediksi volume kendaraan di persimpangan tersebut akan meningkat 15% per tahun. “Kami yakin proyek ini adalah Solusi Macet jangka pendek dan menengah yang paling realistis sembari menunggu pendanaan untuk proyek LRT disetujui. Selain itu, proyek ini juga menyediakan jalur pejalan kaki dan sepeda yang terintegrasi di bawahnya, sebagai bentuk komitmen kami terhadap transportasi non-motorik,” terang Ir. Hadi dalam konferensi pers saat peresmian.
Namun, kekhawatiran masyarakat tidak hanya berhenti pada kemacetan. Warga yang memiliki usaha di sekitar area proyek, khususnya di Jalan Kenanga yang kini tertutup oleh struktur flyover, mengeluhkan penurunan omzet hingga 70%. Salah satu pemilik warung makan, Ibu Yuni (50 tahun), menuturkan bahwa ia terpaksa memecat dua karyawannya. “Jalanan di bawah flyover terasa gelap dan sepi, tidak ada lagi pelanggan yang mampir. Proyek ini seharusnya membantu, malah membuat usaha kecil kami terancam bangkrut,” keluh Ibu Yuni. Komisi C DPRD, yang membidangi pembangunan, telah berjanji akan memanggil DPU dan Dinsos pada Jumat, 8 November 2024, untuk membahas kompensasi sosial dan rencana revitalisasi ekonomi di area terdampak. Isu ini menyoroti bahwa pembangunan fisik harus selalu diimbangi dengan pertimbangan sosial-ekonomi yang matang agar tidak mengancam Kemandirian Finansial warga kecil. Tanpa keseimbangan itu, flyover bukan sekadar masalah tata ruang, tetapi masalah keadilan sosial.
